Pojok Kalimantan
Dalam dinamika pemerintahan modern, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi masyarakat bukan hanya kemiskinan, layanan publik yang lamban, atau kebijakan yang tidak merata, tetapi persoalan paling fundamental: kepercayaan. Ketika pejabat publik terus-menerus tampil dengan janji yang gemerlap namun gagal diwujudkan, muncullah label yang semakin sering dipakai oleh masyarakat: tukang bongak. Istilah ini bukan sekadar ejekan, melainkan bentuk penilaian sosial terhadap perilaku politikus atau pejabat yang dianggap terlalu banyak bicara, namun minim tindakan nyata.
Label itu tidak lahir dalam sehari. Ia muncul dari rangkaian pengalaman kolektif masyarakat yang merasa dikecewakan oleh kata-kata yang tidak pernah benar-benar berubah menjadi kenyataan. Dalam bahasa politik, pejabat yang terlalu banyak berbicara tanpa menunjukkan realisasi cenderung kehilangan legitimasi. Dalam bahasa masyarakat sehari-hari, mereka cukup disebut bongak individu yang ucapannya sulit dipercaya.
Realitas ini membuka pertanyaan besar: mengapa fenomena ini begitu sering terjadi? Mengapa pejabat justru memilih bicara banyak daripada bekerja dalam diam? Dan lebih penting lagi, bagaimana masyarakat menyikapi pejabat semacam ini?
Pejabat Tukang Bongak dimulai dari karakter pejabat yang gemar menebar janji, strategi yang biasanya mereka gunakan untuk memulihkan citra, hingga sikap masyarakat ketika kepercayaan mereka tergerus oleh perilaku pemimpin yang tak sejalan antara kata dan tindakan.
Janji dan Ilusi Kredibilitas
Pejabat yang sering dicap masyarakat sebagai tukang bongak biasanya memiliki pola komunikasi yang sama: mereka tampak sangat meyakinkan dalam berbicara. Kata-kata mereka tersusun dengan rapi, terdengar meyakinkan, bahkan kadang menggunakan diksi yang memberi harapan besar. Mereka mengumbar rencana, memaparkan target, dan mengulas masa depan seolah semuanya berada dalam kendali.
Namun karakteristik utama dari pejabat tipe ini bukan pada kemampuan bicara, melainkan pada ketidakkonsistenan antara ucapan dan tindakan. Janji selalu datang lebih cepat daripada kerja. Pernyataan selalu melesat lebih jauh daripada bukti. Mereka menjadi profesional dalam retorika, namun amatiran dalam realisasi.
Fenomena ini kadang bukan hanya karena niat buruk, tetapi karena sistem politik yang mendorong pejabat untuk tampil berlebihan. Dalam berbagai momentum, terutama menjelang pemilu atau saat berada di bawah tekanan publik, pejabat sering terdorong untuk memberikan pernyataan yang menenangkan masyarakat, meskipun tidak sepenuhnya realistis. Di sinilah retorika sering mengalahkan rasionalitas, dan janji-janji yang seharusnya menjadi komitmen berubah menjadi alat pencitraan.
Pada titik ini, masyarakat akan dengan cepat mencatat kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Dari waktu ke waktu, pengalaman berulang akan membentuk persepsi kolektif bahwa pejabat tersebut bukan sekadar sesekali alpa, tetapi memang tak dapat diandalkan.
Ketika Bicara Tidak Lagi Bernilai
Perilaku pejabat yang terlalu banyak janji menyebabkan nilai sebuah pernyataan menjadi jatuh. Dalam komunikasi politik, kepercayaan adalah mata uang paling berharga. Ketika seorang pejabat kehilangan kredibilitas, maka sebanyak apa pun kata-kata mereka tidak lagi memiliki nilai di mata publik.
Dalam situasi ini, masyarakat biasanya merespons dengan skeptisisme. Mereka mendengar, tetapi tidak percaya. Mereka menyimak, tetapi dengan nada sinis. Pejabat boleh saja berbicara tentang program baru, kesiapan anggaran, atau target penyelesaian proyek, namun masyarakat hanya menunggu bukti nyata sebelum bersedia mempercayai kembali.
Kenyataan ini sering membuat pejabat defensif. Mereka mulai merasa bahwa apa pun yang mereka ucapkan selalu dianggap salah oleh publik. Padahal masalahnya bukan pada apa yang mereka ucapkan hari ini, namun pada apa yang telah mereka katakan berulang-ulang sebelumnya namun tidak diwujudkan.
Baca Juga ‘Setop Tot, Tot, Wuk, Wuk’, Pemerintah Ingatkan Aturan Sirine Pejabat
Di sinilah inti masalah pejabat tukang bongak: mereka merusak nilai kata-kata mereka sendiri. Ketika ucapan kehilangan bobot, maka jabatan yang mereka emban pun kehilangan wibawa.
Strategi Pejabat yang Terlanjur Dicap “Tukang Bongak”
Meski label ini cukup berat, banyak pejabat tidak tinggal diam ketika citra mereka memburuk. Ada beberapa strategi umum yang biasa digunakan untuk memulihkan kembali kepercayaan publik. Meskipun strategi ini tampak berbeda pada setiap individu, namun pola umumnya sama.
Pejabat biasanya mulai mengurangi pernyataan-pernyataan besar dan berfokus pada tindakan konkret. Mereka bisa saja mempercepat proyek pelayanan publik, melakukan sidak publik, atau menampilkan data progres yang sebelumnya tidak pernah diperlihatkan. Tujuannya untuk menunjukkan bahwa mereka akhirnya mulai bekerja, bukan hanya berbicara.
Selain itu, pejabat yang sudah kehilangan kepercayaan publik sering menggandeng pihak ketiga untuk memperkuat citra. Lembaga independen, akademisi, atau tokoh masyarakat dihadirkan untuk memberikan legitimasi bahwa kinerja mereka benar-benar berjalan. Dalam situasi tertentu, mereka bahkan memilih langkah yang jarang dilakukan: mengakui kesalahan. Pengakuan seperti ini, meskipun terasa sederhana, sering memberikan efek besar karena masyarakat jarang melihat pejabat bersikap rendah hati.
Namun tidak semua strategi bersifat jujur. Ada pula pejabat yang memilih cara lain, yaitu mengalihkan isu. Mereka meluncurkan program baru, mengumumkan proyek besar, atau memunculkan agenda populer untuk menggeser perhatian masyarakat dari kegagalan sebelumnya. Ini adalah strategi klasik yang sering digunakan dalam politik, tetapi publik yang sudah kehilangan kepercayaan akan melihatnya sebagai taktik pencitraan semata.
Terlepas dari semua strategi itu, inti dari pemulihan citra hanya satu: tindakan nyata. Tanpa itu, semua upaya hanyalah pengulangan pola lama yang membuat masyarakat semakin yakin bahwa pejabat tersebut memang ahli dalam berbicara, bukan bekerja.
Sikap Publik, Dari Skeptis hingga Sinis
Ketika seorang pejabat sudah berkali-kali mengecewakan publik, masyarakat tidak lagi bersikap pasif. Respons mereka berkembang dari skeptis menjadi sinis. Ini tampak jelas dalam berbagai komentar publik di media sosial, perbincangan di warung kopi, hingga diskusi komunitas.
Pada awalnya masyarakat hanya ragu. Mereka mempertanyakan kebenaran pernyataan pejabat, tetapi masih memberi ruang untuk kemungkinan bahwa janji tersebut akan terealisasi. Namun ketika pola kebohongan berulang, masyarakat beralih ke sinisme. Setiap janji dianggap retorika kosong. Setiap pernyataan dianggap bagian dari drama politik. Tidak jarang, pejabat bahkan menjadi bahan candaan.
Pada titik tertentu, rasa kecewa yang berkepanjangan dapat berubah menjadi frustrasi kolektif. Ini dapat memicu aksi massa, petisi publik, atau desakan formal agar pejabat tersebut dievaluasi. Dalam konteks demokrasi, opini publik memegang peran penting. Ketika mayoritas masyarakat menganggap seorang pejabat tidak lagi kredibel, maka legitimasi politik pejabat tersebut melemah secara dramatis.
Ketika Kepercayaan Publik Menguap
Kepercayaan publik adalah fondasi dari pemerintahan yang stabil. Ketika fondasi itu retak, maka semua hal lain ikut goyah: penerimaan kebijakan, kepatuhan warga, bahkan citra lembaga pemerintah secara keseluruhan.
Fenomena pejabat tukang bongak sering memicu efek domino. Masyarakat tidak lagi percaya pada pejabat tersebut, kemudian meragukan lembaga tempat pejabat itu bekerja, dan akhirnya meragukan institusi pemerintahan secara lebih luas. Ini adalah bahaya serius karena ketidakpercayaan massal dapat melemahkan efektivitas pemerintahan.
Dalam kondisi ini, masyarakat biasanya mencari figur lain yang dianggap lebih kredibel. Mereka mengalihkan kepercayaan kepada tokoh yang lebih jujur, lembaga independen yang dianggap netral, atau bahkan media massa tertentu yang dinilai menyuarakan kebenaran. Perpindahan kepercayaan ini adalah sinyal bahwa pejabat yang bersangkutan telah kehilangan posisinya di mata publik.
Baca Juga Mengapa Pejabat Korup Tersenyum? Tenang, Tanpa Malu, dan Tetap Eksis di Tengah Hilangnya Nurani.
Ketegangan antara Realita dan Retorika
Pejabat tukang bongak sering terjebak dalam ketegangan antara kenyataan yang kompleks dan retorika yang mereka ciptakan sendiri. Dalam banyak kasus, mereka sendiri mungkin merasa terjebak oleh janji-janji yang mereka ucapkan. Ketika janji itu gagal mereka penuhi, mereka cenderung menambahkan janji baru untuk menutupi kegagalan sebelumnya. Siklus ini menciptakan lingkaran setan: semakin banyak janji, semakin besar harapan publik, dan semakin besar pula kekecewaan ketika realitas tidak sejalan.
Retorika yang berlebihan membuat pejabat kehilangan ruang untuk bergerak. Karena masyarakat sudah menaruh ekspektasi tinggi, sedikit saja kesalahan akan dianggap sebagai kebohongan. Pada tahap ini, pejabat kehilangan fleksibilitas untuk beradaptasi. Mereka terperangkap oleh narasi buatan mereka sendiri.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kejujuran dalam komunikasi publik bukan hanya persoalan moral, tetapi juga strategi politik yang cerdas. Pejabat yang berhati-hati dalam berbicara dan realistis dalam menjanjikan sesuatu justru lebih dihargai dalam jangka panjang.
Cara Masyarakat Bertahan di Tengah Kecewaan
Dalam menghadapi pejabat tukang bongak, masyarakat mengembangkan mekanisme perlindungan sosial. Salah satunya adalah keengganan untuk percaya begitu saja. Mereka tidak lagi mengandalkan kata-kata pejabat, melainkan mencari bukti dari media, laporan publik, atau pengalaman langsung.
Sebagian masyarakat juga belajar untuk lebih kritis. Mereka memeriksa setiap klaim melalui sumber lain, memverifikasi data, dan memperhatikan progres lapangan. Sikap kritis ini adalah bentuk perlawanan terhadap budaya retorika kosong.
Selain itu, masyarakat menjadi lebih selektif dalam memberikan dukungan politik. Mereka tidak lagi mudah terpengaruh oleh kampanye yang penuh janji, tetapi mencari figur yang rekam jejaknya jelas. Ini adalah pelajaran penting bahwa demokrasi hanya dapat berjalan dengan baik ketika publik belajar dari sejarah.
Kata yang Kehilangan Makna
Pejabat tukang bongak adalah cermin dari problem komunikasi politik yang telah berlangsung lama. Mereka mengandalkan kata-kata sebagai alat utama untuk mendapatkan dukungan publik, tetapi lupa bahwa kata-kata tanpa tindakan hanya menciptakan kelelahan sosial. Masyarakat semakin cerdas, semakin kritis, dan semakin sulit dibohongi.
Pada akhirnya, pejabat yang hanya pandai berbicara tetapi miskin tindakan akan menghadapi konsekuensi yang tidak bisa dihindari: hilangnya kepercayaan publik. Begitu kepercayaan itu hilang, jabatan hanya menjadi simbol kosong yang tidak lagi dihormati. Dan bagi masyarakat, itu adalah tanda untuk mencari pemimpin baru yang benar-benar bekerja, bukan sekadar bongak.
Ditulis oleh :
Soefriyanto
Redaksi


