Kasihan Abang Ojol Ini, Disikut Oknum Tentara Sampai Hidung Berdarah

Pojok Kalimantan
Minggu, 21 September 2025, 14.00.00 WIB Last Updated 2025-09-21T07:00:37Z

 

PoKal - Pontianak 

Daerah gue kejadiannya ni, wak! Kasihan tengok abang ojol kita, pencari rupiah jalanan, disikut oknum tentara udah kayak preman. Berdarah dan bengkak. Mari kita lindas, eh salah, kupas arogansi aparat sambil seruput kopi tanpa gula, wak!


Di Indonesia ada dua profesi yang pantang disentuh oleh tangan kasar, guru dan ojol. Percayalah, kalau mereka disakiti, bukan cuma trending topic, tapi bisa sampai reshuffle kabinet. Presiden bisa sampai garuk-garuk kepala, lalu mencari menteri baru untuk ditumbalkan. Itu sudah ada contohnya, dan sejarah punya hobi aneh, selalu mengulang babak absurdnya.


Mari kita pindahkan kamera ke Pontianak Timur, Sabtu siang, 20 September 2025. Jalan Seruni, Panglima Aim, panas terik, motor berdesakan, mobil beringsut pelan. Di titik inilah sejarah menyiapkan panggung. Seorang driver ojol bernama Teguh Sukma hanya melakukan ritual sederhana, menekan klakson, bahasa paling sopan di jalan raya ketika mobil di depan hendak mundur. Tetapi dari dalam mobil itu, keluar bukan kesadaran, melainkan oknum TNI berinisial FA, yang buru-buru mengantar anaknya ke rumah sakit.


Alih-alih memilih sabar, FA keluar dari mobilnya seperti adegan film murahan yang kebablasan. Langkahnya berat, napasnya pendek, wajahnya tegang. Teguh masih duduk di jok motornya, tak sempat turun, tak sempat bicara. Tiba-tiba, siku kanan FA terangkat, berputar setengah lingkaran, lalu meluncur seperti palu Thor yang jatuh dari langit. Bunyi hantamannya terdengar jelas, “krak!” suara tulang rawan yang retak, suara daging yang diremas paksa.


Hidung Teguh seketika mengucurkan darah, menyembur deras seperti keran bocor di tengah pasar. Matanya membiru, membengkak, dan tubuhnya limbung. Jalan Seruni yang panas itu mendadak membeku, orang-orang terdiam, hanya terdengar isak pendek dari seorang ibu yang menutup mulutnya melihat darah menetes ke aspal. Siku itu bukan sekadar gerakan refleks, melainkan sajak kekerasan yang ditulis dengan tinta merah di wajah seorang pencari nafkah.


Detik itu juga, udara seakan pecah oleh aura sadis, matahari terasa lebih garang, debu beterbangan seolah ingin menutup kejadian, dan setiap klakson motor lain mendadak terdengar seperti teriakan horor. Pukulan FA bukan hanya menyobek jaringan kulit, tapi juga menyayat keyakinan, bahwa seorang aparat bisa melupakan sumpahnya hanya karena sebuah klakson.


Korban lantas dibawa ke RS Anton Soedjarwo, lalu dirujuk ke RS Medika Jaya. Dokter tak lagi bicara tentang tulang rawan, tapi tentang retaknya rasa aman warga sipil. Di dunia medis, hidung patah itu diagnosa. Di dunia filsafat, itu simbol, betapa rapuhnya ruang keadilan ketika satu pukulan bisa menenggelamkan ribuan kilometer kredibilitas institusi.


Komunitas ojol pun bangkit. Tidak ada undangan resmi, tidak ada spanduk partai, hanya solidaritas murni. Ratusan pengemudi ojol menyerbu Markas Pomdam XII/Tanjungpura, sebagian lagi menyebar ke Mapolresta Pontianak. Mereka tidak membawa bambu runcing, hanya helm, jaket hijau, dan suara yang lebih keras daripada toa masjid. Mereka menuntut satu hal, jangan ada tebang pilih. Kalau sipil salah, masuk sel. Kalau oknum berseragam salah, jangan berubah jadi acara pengajian minta maaf sambil tersenyum.


Pihak militer bergerak cepat. FA diamankan, diperiksa Polisi Militer, bahkan sudah minta maaf, siap mengganti biaya rumah sakit, siap merendahkan diri di depan kamera. Tetapi rakyat bukan hakim yang bisa dikelabui dengan sekadar air mata instan. “Proses hukum tetap jalan,” kata Kodam XII/Tanjungpura. Pernyataan itu indah di telinga, tapi sejarah kita penuh contoh janji yang mampir sebentar, lalu menguap bersama kopi pahit di warung pojokan.


Ada ironi yang menohok di sini. TNI dididik untuk menjaga kedaulatan negara dari musuh luar, tetapi kali ini musuhnya adalah klakson ojol di Jalan Seruni. Teguh Sukma mungkin tak sadar, bunyi tet-tet dari jari tangannya sedang menguji integritas seluruh sistem hukum militer. Apakah satu klakson bisa menggoyang sebuah institusi? Di negeri absurd ini, jawabannya, bisa.


Karena sekali lagi, jangan pernah menyakiti guru, jangan pernah menampar ojol. Mereka bukan sekadar profesi, mereka simbol perlawanan sunyi. Dari balik papan tulis dan setang motor, mereka mengajar kita tentang arti perjuangan. Bila mereka disakiti, rakyat bergerak, sejarah menuntut, bahkan presiden pun bisa kehilangan menteri. Tragedi Pontianak ini bukan sekadar soal hidung patah, melainkan soal apakah bangsa ini masih percaya hukum berlaku untuk semua, atau hanya berlaku sampai sirine patroli lewat.


Foto Ai, hanya ilustrasi.


#camanewak

Rosadi Jamani

Ketua Satupena Kalbar


Redaksi

Komentar

Tampilkan

  • Kasihan Abang Ojol Ini, Disikut Oknum Tentara Sampai Hidung Berdarah
  • 0

Terkini