
PoKal - Pontianak
Saya kira keracunan di Garut itu yang terakhir. Soalnya, dari Pemprov Jawa Barat, Badan Gizi Nasional, sampai istana sudah minta maaf. Baru juga minta maaf, eh terjadi lagi. Kali ini menimpa siswa SMK yang relatif lebih dewasa bila dibandingkan murid SD. Mari kita lindas, eh salah, kupas tragedi MBG ini sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Tragedi itu terjadi di Bandung Barat. Senin, 22 September 2025. Ada 15 siswa SMK Pembangunan di Desa Sirnagalih, Cipongkor, satu per satu tumbang setelah menyantap hidangan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Gejalanya seragam, seakan tubuh mereka ikut bersepakat, mual, muntah, pusing, lemas, bahkan ada yang sesak napas. Seperti domino yang jatuh, satu siswa muntah, lalu yang lain ikut ambruk. Panik melanda sekolah. Para guru berlarian, bukan untuk membacakan pelajaran, tapi untuk mencari kendaraan darurat. Dari 15 siswa itu, 13 harus dilarikan ke Puskesmas Cipongkor. Sementara 2 lainnya terpaksa dirujuk ke RSUD Cililin. Pemandangan kelas berubah jadi ruang krisis. Bukan lagi papan tulis yang dipenuhi rumus, melainkan wajah pucat murid yang tak mampu menahan sakit perut.
Seakan tak cukup, tragedi ini hanyalah babak lanjutan dari drama panjang yang sama. Beberapa waktu lalu, di Garut, 657 siswa juga terjerembab setelah memakan makanan MBG. Angka itu bukan sekadar statistik, 19 anak dirawat intensif, ratusan lainnya muntah berjamaah. Bayangkan, teteh akang! Satu kecamatan seakan berubah jadi kamp pengungsi kesehatan. Tim medis harus turun tangan, puskesmas jadi lautan anak-anak yang menahan sakit, dan laboratorium kebanjiran sampel muntahan. Bahkan dapur MBG di Kadungora ditutup sementara. Ironis, dapur yang seharusnya jadi pusat kehidupan malah berubah jadi sumber musibah.
Namun, ada satu hal yang membuat publik semakin teriris. Pernyataan Menko Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas), justru menambah garam pada luka. Dalam kunjungannya ke SPPG Wonocolo, Surabaya, ia berkata, kasus keracunan bukanlah karena kesalahan masak, melainkan karena tubuh anak-anak “belum terbiasa” dengan makanan bergizi. Seakan-akan, muntah dan sesak napas itu hanyalah efek samping adaptasi, bukan tragedi kesehatan. Ia bahkan mencontohkan pengalaman pribadinya.
Pernyataan itu sontak memicu gelombang kritik. Banyak pihak menilai ucapan Zulhas menyepelekan penderitaan ratusan siswa yang sudah jadi korban. Di media sosial, komentar sinis bermunculan, ada yang menyebut logika itu absurd, ada pula yang menantang sang menteri untuk ikut makan makanan MBG di sekolah, bukannya menjadikan anak-anak sebagai kelinci percobaan. Para pengamat gizi menegaskan bahwa keracunan tidak ada hubungannya dengan “belum terbiasa”, melainkan masalah kontaminasi, pengolahan, hingga distribusi pangan massal yang seharusnya diawasi ketat.
Tapi kisah tragis ini dibumbui oleh satu hal yang lebih menusuk hati. Ada klausul perjanjian MBG yang terungkap ke publik. Dalam dokumen resmi, sekolah dilarang mempublikasikan insiden luar biasa, termasuk keracunan. Artinya, ketika anak-anak muntah, guru tak hanya sibuk menolong, tapi juga memikirkan cara membungkam berita. Seolah-olah keselamatan anak bisa dinegosiasikan dengan tinta kontrak. Ditambah lagi kewajiban sekolah mengganti kerugian Rp80 ribu jika peralatan makan hilang, seakan sendok lebih mahal dari nyawa.
Orang tua mana yang tak gemetar membaca kenyataan ini? Bagaimana mungkin menitipkan anak ke sekolah dengan harapan mendapat ilmu dan gizi, tapi justru menunggu telepon darurat, “Bu, anak Anda di puskesmas.” Trauma ini nyata. Para ibu kini mulai takut membuka bekal makan siang gratis anak mereka. Kata “gratis” mendadak terdengar seperti ancaman, bukan anugerah. Kata “bergizi” justru jadi sinonim bagi racun yang merayap perlahan di dalam tubuh.
Jika tragedi semacam ini terus berulang, bagaimana kita bisa bicara tentang generasi emas 2045? Apa gunanya visi besar bila anak-anak sudah berguguran hanya karena seporsi nasi dan lauk? Gizi bukan sekadar soal kenyang, gizi adalah soal aman. Ketika keamanan itu dikorbankan demi angka program, kita sedang membangun masa depan di atas pondasi rapuh, pondasi yang setiap saat bisa runtuh, meninggalkan luka dan ketakutan.
Hari ini, Bandung Barat menambah daftar panjang luka kolektif kita. Ada 15 siswa yang seharusnya belajar di kelas kini berbaring dengan infus. Puluhan orang tua menatap cemas di ruang tunggu puskesmas, bertanya-tanya, apakah esok anak mereka masih selamat jika makan dari dapur MBG? Pertanyaan itu menggantung, pahit, dan menakutkan. Mungkin, di benak setiap orang tua kini muncul satu kesadaran tragis, lebih baik anak pulang lapar, dari pada pulang sakit.
Foto Ai, hanya ilustrasi.
#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
Redaksi