Setelah Rumah Uya Kuya, Eko dan Syahroni Kini Giliran Rumah Sri Mulyani Sasaran Massa

Pojok Kalimantan
Minggu, 31 Agustus 2025, 11.50.00 WIB Last Updated 2025-08-31T04:50:22Z


PoKal - Pontianak 

Setelah rumah Ahmad Sahroni porak-poranda, Eko Patrio ikut-ikutan dijarah, Uya Kuya tak sempat menyelamatkan kucing angoranya, kini giliran rumah Menteri Keuangan tiga periode, Sri Mulyani Indrawati, menjadi panggung amarah rakyat. Subuh dini hari, 31 Agustus 2025, ketika ayam jantan baru belajar kokok dan matahari masih mengantuk, massa menyerbu kediamannya di Jalan Mandar, Bintaro Sektor 3A. Televisi layar datar diangkut, peralatan memasak ikut digendong, bahkan pajangan ruang tamu yang dulu mungkin pernah disaksikan Forbes saat menobatkannya sebagai perempuan paling berpengaruh ke-38 di dunia tahun 2023, kini raib bagai sabun jatuh di sungai.


Inilah babak baru drama republik, Sri Mulyani, yang kekayaannya per 2023 mencapai Rp 79,84 miliar, terdiri dari tanah dan bangunan Rp 48,98 miliar, surat berharga Rp 24,28 miliar, kas Rp 15,45 miliar, dengan utang nyicil Rp 9,53 miliar, ternyata tak kuasa menahan amukan rakyat yang sudah kehabisan kesabaran. Kekayaan itu tak cukup untuk meredam api, sebab yang marah bukan angka di Excel, melainkan perut kosong di warung tepi jalan.


Bukankah dulu ia pernah berseloroh bahwa guru dan dosen adalah beban negara? Kalimat itu meluncur manis dari bibir seorang doktor ekonomi University of Illinois, yang rumahnya di Maryland, Amerika Serikat, dibeli USD 1,1 juta saat jadi Managing Director Bank Dunia, masih tercatat di LHKPN senilai Rp 18,64 miliar. Ironi itu kini menjadi bahan bakar massa, dosen dianggap beban, tapi DPR dengan tunjangan rumah Rp 50 juta per bulan tak pernah disentil. Rakyat pun memberi gelar, “si tukang palak, ratu pajak, antek IMF.”


Lihatlah, bagaimana sejarah berbalik. Dulu ia memecat 150 pegawai korup di Kemenkeu, mengusir tikus dari lumbung padi. Kini rumahnya sendiri dijarah, bukan oleh maling bersetelan rapi, melainkan oleh rakyat yang lapar, yang menanggung utang negara yang ia jaga. Filosof kampung berkata, kalau rakyat sudah marah, bahkan dewa pajak pun ditarik dari singgasananya.


Karma, kata sebagian orang. Tetapi ini lebih dari sekadar karma. Ini adalah simfoni absurd negeri yang dikelola seperti spreadsheet: angka naik, rakyat turun, APBN sehat, tapi dompet warga sekarat. Sri Mulyani yang pernah dielu-elukan sebagai Menteri Terbaik Dunia tahun 2018 di Dubai, kini jadi tokoh antagonis dalam opera jalanan Indonesia. Dunia tersenyum kagum, rakyat menangis perih.


Subuh tadi, drama itu nyata. Tak ada barikade, tak ada pasukan pengawal, hanya gelombang manusia dengan tangan kosong yang berubah jadi tangan perampas. Televisi besar diangkat seperti trofi juara liga, kompor gas dibopong layaknya senjata revolusi. Barang-barang rumah tangga menjadi simbol keadilan rakyat, kalau negara bisa memungut pajak dari sabun mandi hingga pulsa telepon, maka rakyat pun merasa berhak “memajaki balik” menteri yang dianggap penyedot darah.


Apa yang tersisa bagi Sri Mulyani? Gelar akademik tetap melekat, penghargaan internasional tetap terpajang, rumah di Amerika tetap berdiri. Tetapi di tanah air, reputasi retak. Rakyat bukan lagi sekadar angka “kelompok penerima BLT” dalam tabel kebijakan, melainkan massa yang berani mengetuk pintu rumahnya tanpa izin.


Kita pun belajar, kekuasaan, kekayaan, bahkan citra global, bisa roboh oleh satu amarah kolektif. Begitulah filsafat rakyat, sederhana, kasar, tapi jujur. Siapa menabur arogansi, akan menuai amarah. Sri Mulyani, sang ratu pajak, kini menanggung pelajaran paling mahal,  rumah mewah Rp 18 miliar pun bisa runtuh, bukan oleh gempa bumi, melainkan oleh gelombang rakyat yang sudah terlalu lama dipalak.


Who is the next?


#camanewak

Rosadi Jamani

Ketua Satupena Kalbar

Komentar

Tampilkan

  • Setelah Rumah Uya Kuya, Eko dan Syahroni Kini Giliran Rumah Sri Mulyani Sasaran Massa
  • 0

Terkini