Sebut Nama Sri Mulyani, Kenapa Ingatnya Pajak dan Guru

Pojok Kalimantan
Selasa, 19 Agustus 2025, 09.23.00 WIB Last Updated 2025-08-19T02:23:27Z

 



PoKal - Pontianak 

Ada seorang perempuan dari Lampung, lahir 26 Agustus 1962, bernama Sri Mulyani Indrawati. Ia bukan sekadar Menteri Keuangan, tapi lebih tepat disebut Pendeta Agung Pajakistan, imam besar yang menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf. Menurutnya, setiap harta yang ente punya ada hak orang lain di dalamnya. Kalau nuan habis gajian lalu lihat slip potongan pajak, jangan nangis, itu sama nilainya dengan pahala zakat, bedanya malaikat pencatatnya bernama Direktorat Jenderal Pajak.


Kariernya epik. Dari UI, terbang ke Illinois, lalu singgah di IMF, Bank Dunia, sampai akhirnya kembali ke tanah air, dua kali jadi Menkeu, di bawah tiga presiden berbeda. Ia memecat ratusan pegawai pajak dan bea cukai pada 2005, mencabut kanker korupsi bak tabib sakti dengan pedang samurai, lalu meluncurkan program Tax Amnesty 2016–2017, yang katanya sukses mengembalikan dana-dana eksotis di surga pajak luar negeri. Tidak heran majalah internasional menobatkannya sebagai Finance Minister of the Year dan bahkan Best Minister in the World.


Tapi semua kehebatan itu luluh lantak ketika ia naik podium di ITB, Agustus 2025. Di hadapan mahasiswa dan akademisi, ia bilang, “Menjadi guru atau dosen itu tidak dihargai karena gajinya kecil. Itu tantangan keuangan negara.” Sebagian publik mendengar itu seperti guntur di siang bolong. Guru disebut beban negara. Netizen langsung marah, “Lalu pejabat apa? Beban rakyat?!”


Mari kita bayangkan, wak! Seorang guru matematika yang setiap hari dihantam soal murid bertanya, “Bu, kenapa X harus dicari? Kenapa dia selalu hilang?” Lalu gajinya, dipotong pajak, dan di atasnya dicap sebagai beban negara. Ironi ini lebih getir dari kopi robusta basi.


Sementara Sri Mulyani berdiri tegak bak dewi Athena di forum global, mengabarkan bahwa pajak adalah pilar peradaban, di dalam negeri guru, yang membentuk akhlak bangsa, malah jadi statistik fiskal. Seakan-akan guru bukan pilar pendidikan, tapi tiang listrik yang diam saja, membebani PLN.


Reaksi publik? Meledak. Pakar UM Surabaya bilang guyonan itu semacam melempar tanggung jawab. Aliansi dosen mengeluh, merasa hatinya digilas truk APBN. Netizen menulis meme, “Kalau guru beban negara, koruptor beban siapa?”


Mari kita tarik filsafatnya. Jika pajak itu zakat, maka guru adalah mustahik, penerima zakat? Atau malah muzakki, pembayar zakat dari gajinya yang tipis? Jika pajak adalah wakaf, maka guru seolah-olah tanah kosong yang hanya dilirik kalau butuh papan reklame? Pertanyaan ini lebih rumit dari soal pilihan ganda UNBK yang jawabannya semua benar tapi tetap salah.


Namun jangan buru-buru marah. Bisa jadi Sri Mulyani sedang menguji logika Socrates gaya fiskal. Apakah negara harus menanggung semua, ataukah masyarakat ikut urun tangan? Ia hanya lupa, bahwa menyebut guru “beban” sama artinya dengan menyiram bensin ke api kemarahan publik.


Akhirnya drama ini mengajarkan kita, pajak memang penting, tapi jangan sampai jadi ayat suci baru yang tak boleh dikritik. Guru bukan beban, melainkan mesin penghasil manusia. Tanpa mereka, tak ada ekonom, tak ada insinyur, bahkan tak ada menteri keuangan.


So, wahai para pemungut pajak, ingatlah! Kalau guru mogok mengajar, siapa yang nanti melahirkan generasi yang bisa menghitung kurs dolar Rp16.155 per USD, atau mengerti bahwa biaya pengamanan pertemuan Trump–Putin di Alaska mencapai Rp2,423,250,000?


Di negeri absurd ini, pajak disamakan dengan zakat, guru dianggap beban, dan rakyat cuma bisa ketawa sambil membayar. Benar kata pepatah modern, “Hidup itu pasti, gaji itu kecil, pajak itu abadi.”


"Bang, jangan nyenggol kanjeng Sri, nanti pistolnya dikeluarin lho."


"Ampun Kanjeng. Ngopi, yok!" 


#camanewak

Rosadi Jamani

Ketua Satupena Kalbar


Redaksi

Komentar

Tampilkan

  • Sebut Nama Sri Mulyani, Kenapa Ingatnya Pajak dan Guru
  • 0

Terkini